By Karang Hijau
Maklum, populasi pemilik nama Latin Rhinoceros sondaicus itu hanya tersisa di kawasan ini. Padahal, bukan cuma badak jawa yang bisa ditemui. Ada sederet satwa lain dan sejumlah pemandangan indah nan khas yang enak dinikmati. Asyiknya, semua itu bisa dirangkum dalam karya foto yang indah. Coba saja rasakan sendiri nikmatnya berburu foto ke negeri liar ujung jawa itu. Berjumpa badak jawa bukan perkara mudah. Hanya ada segelintir orang yang pernah bertemu muka dengan satwa yang doyan berkubang ini. Ini gara-gara peristiwa masa lalu. Karena trauma diudak-udak manusia, sifat pemalu badak jawa makin menonjol. Sedikit saja tercium ”wangi” manusia, badak jawa langsung ngacir ke hutan paling dalam. Biarlah badak jawa tetap jadi impian. Namun daripada terbawa-bawa mimpi, lebih baik kita arahkan tujuan untuk hal yang tak kalah bermanfaat. Salah satunya, berburu foto di kawasan Ujung Kulon. Kawasan seluas 120.551 hektare itu memang menarik menjadi lokasi berburu foto. Foto yang kita hasilkan pun beragam jenisnya. Dari foto wisata, petualangan, flora, fauna dan lainnya. Malah, kalau punya kamera kedap air, kita juga bisa memotret keindahan kekayaan bawah laut Ujung Kulon. Sebelum melakukan perburuan foto ke kawasan yang ditetapkan menjadi situs warisan dunia (the world heritage site) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini lebih baik persempit tujuan akhir. Sebab, tak mungkin kita sanggup menyambangi keseluruhan daratan TNUK yang tercatat sekitar 76.551 hektare dan perairan seluas 44.337 hektare. Apalagi waktu perburuan pas-pasan. Kalau cuma punya waktu tiga sampai empat hari, lebih baik pilih jalan laut. Memang, ongkos perjalanan yang dikeluarkan lebih besar tetapi bila ditanggung bersama tentu menjadi ringan. Lagipula, objek foto yang kita dapat cukup banyak. Dari foto satwa, flora, sampai kehidupan penjaga mercu suar di ujung barat Jawa. Cara inilah yang dipakai tim komunikasi Yayasan WWF (World Wide Fund for Nature) Indonesia untuk membuat dokumentasi di TNUK pada 30 Maret – 2 April lalu. Meski waktu paspasan, toh mereka dapat mengumpulkan sederet objek foto yang menarik. Terlebih cuaca di sekitar kawasan ini sedang bersahabat. Menurut Adhi Rachmat Hariyadi, Project Executant WWF Ujung Kulon, perburuan foto di kawasan TNUK dapat dimulai dari kawasan Taman Jaya. Desa ini merupakan gerbang masuk ke kawasan konservasi di ujung barat Jawa itu. Di sini, perburuan foto dapat dimulai dengan merekam kesibukan masyarakat sekitar. ”Sekarang kita mampir dulu ke rumah Warca, untuk melihat pembuatan kerajinan patung badak jawa,” ujar Yosafat Erie Setianto, salah satu anggota tim dokumentasi Yayasan WWF Indonesia kepada SH. Teras rumah sederhana yang berdinding bambu itu terlihat begitu sibuk. Ada tiga perajin patung badak jawa. Sang empu rumah, Warca Dinata sesekali menemani mereka untuk memberi arahan. Tanpa buang waktu, kami segera meraih kamera. Erie – sapaan akrab Yosafat Erie Setianto – sudah sibuk dengan Nikon F90X, lensa AF Nikkor 28 – 70 mm. Sementara itu, Dewi Satriani – staf komunikasi WWF Indonesia – memainkan fokus lensa AF Nikkor 80 – 200 mm f 2.8 yang menempel di bodi kamera Nikon F90. Kadang-kadang, dia menggantinya dengan lensa Nikkor D 28 – 80 mm f 3.5. Dalam perjalanan ini Dewi juga membawa kamera Nikon F80 plus lensa AF Nikkor G 70 – 300 mm f 4 – 5.6 dan Nikon Coolpix 5400 yang punya lensa wide 24 mm. Kamera terakhir ini merupakan versi digital yang cukup nyaman untuk dipakai. Apalagi dilengkapi dengan lensa makro. SH sendiri seringkali mengambil gambar dengan kamera milik Dewi itu, selain membawa Nikon F75 lensa AF Nikkor G 28 – 80 mm dan AF Nikkor G 70 – 300 mm f 4 – 5.6. Mamiek dari WWF Ujung Kulon ikut menemani perjalanan ini. Ibu satu putri ini memilih Pentax Z 70 Autofokus dengan lensa standar. ”Yah, aku sih sebetulnya pengen belajar lagi nih. Habis, sudah lama juga nggak pegang kamera lagi,” aku Mamiek sambil tertawa. Dulu, Mamiek sempat memamerkan hasil karya fotonya sebelum tenggelam dalam kesibukan kantor. Untuk kebutuhan film, kami membawa 40 rol Fujichrome Provia 100F (RDP III), Fujichrome Sensia 200, Fujichrome Sensia 400. Pada saat cuaca cerah, Asa 100 dapat jadi andalan. Namun saat gelap, kami segera mengisi kamera dengan Asa 400. Sebelum membuat foto perajin badak jawa di Taman Jaya, kami sempat mampir ke desa Citangkil. Di sini, kami membuat foto-foto pembatik patung badak jawa dan pembuatan cinderamata kupu-kupu yang diawetkan. Dari Taman Jaya, perjalanan diteruskan dengan menyewa kapal motor menuju Pulau Peucang. Di pulau pemandangan alamnya sungguh cantik. Pantai yang bersih dengan gradasi warna laut makin asyik untuk diabadikan. Turun dari dermaga, beberapa kera ekor panjang menyambut kami. Tingkah laku mereka juga menarik dijepret. Di lapangan rumput Pulau Peucang, kawanan rusa (Cervus timorensis) yang asyik merumput menjadi sasaran berikut. ”Rusa-rusa di sini cukup jinak. Jadi, kita dapat membuat foto yang bagus dan menjadi daya tarik tersendiri,” kata Adhi Rachmat. Riza Marlon – fotografer satwa liar profesional – juga punya pendapat sama. Oleh sebab itu, keduanya sama-sama merekomendasi tempat ini menjadi salah satu lokasi yang wajib dikunjungi saat berburu foto ke Ujung Kulon. Usai istirahat sebentar, Erie mengajak SH menyusuri hutan tropis Pulau Peucang. Bila disusuri, hutan ini dapat tembus ke lokasi wisata: Karang Copong. Bolak-balik perjalanan ke lokasi ini memakan waktu 2 jam. Bila jalan cepat, kita dapat menghemat waktu sekitar 30 menit. Di tengah jalan, kami sempat berjumpa babi hutan (Sus verrucosus) dan rusa. Dari Pulau Peucang, kami meneruskan perjalanan ke Cibom. Ini merupakan titik terdekat menuju Tanjung Layar. ”Di Tanjung Layar, kita bisa membuat foto kehidupan penjaga mercusuar dan keindahan teluk di ujung barat pulau Jawa,” sebut Riza Marlon. Kami memang berhasil membuktikan semua itu. Paling asyik, memotret keindahan hutan, pantai dan laut lepas dari atas mercusuar. Di Cibom, tak ada dermaga sehingga butuh perahu kecil untuk membantu mendarat. ”Biasanya, sewa dari Pulau Peucang,” kata Warca Dinata yang ikut menemani kami. Cibom merupakan pemberhentian paling aman, karena paling kecil gulungan ombaknya. Biar begitu, kita tetap harus menjaga kamera dari kemungkinan terkena serangan air laut. Dari Cibom ke Tanjung Layar, tempat mercusuar itu, kita mesti menyusuri jalan setapak di tepian hutan tropis yang penuh aneka jenis tanaman. Jaraknya, sekitar 1 km dengan medan datar yang ringan. Sambil berjalan, kita dapat membidikkan kamera untuk menangkap objek penghuni hutan. Pemandangan di sisi jalan begitu indah. Debur ombak begitu membius, sejenak hiruk-pikuk kota terlupakan. Setibanya di tempat bekas mercusuar, setelah naik undakan tangga yang bukan main banyaknya, tampak ombak mengempas ujung Pulau Jawa! Dari bekas bangunan penjara Belanda dekat mercusuar lama, tampak pemandangan cantik seperti dalam film. Kawanan banteng (Bos javanicus) dapat ditemui di Cidaon. Menurut Wasim, jagawana TNUK, selama belum ada petualang lain yang mendahului, diperkirakan kami akan dapat menemui satwa berpantat putih ini. Siang hari yang cerah ternyata ikut mendukung keberuntungan kami. Ada sekelompok banteng yang merumput di bagian tengah padang Cidaon. Kamera-kamera berlensa tele pun langsung dibidikkan ke arah mereka. Sebelum pulang, kami sempat mampir Pulau Handeleum dan menyusuri muara Cigenter.
 

0 comments so far.

Something to say?