By Karang Hijau

Tak jauh dari tepi pantai, kesunyian pagi mulai pecah. Saya baru saja menyelesaikan dua rakaat subuh, melongok ke luar tenda, dan melihat beberapa teman sedang menjerang air. Tadinya saya ingin memotret pantai di pagi hari, tapi langit yang mendung membuat saya membatalkannya.

Saya taruh kembali tas kamera. Ikut duduk di depan nyala api dari kompor gas kecil dan membantu teman-teman menyiapkan sarapan pagi. Sebagian yang lain tampak bergegas membereskan kantung tidur.

Ini sudah hari keempat perjalanan kami. Sebelum sampai ke Taman Nasional Alas Purwo, kami -sebelas orang peserta perjalanan- singgah dulu ke kawah Ijen dan Taman Nasional Baluran.

Sabtu pagi ini kami akan berjalan ke Gua Istana, lalu ke Pantai Plengkung. Pukul 3 sore nanti kami sudah harus tiba di Ngagelan, mendirikan tenda, dan bermalam di sana.

Perjalanan ke Gua Istana sangat lancar. Medan tidak curam dan tidak licin, kerimbunan pohon di sana-sini, sesekali menjumpai sungai yang airnya jernih sekali, bertemu ibu babi hutan dan anaknya, juga monyet bermuka putih.

Semua masih tertawa. Sampai, satu pesan pendek masuk ke ponsel seorang teman. Di Taman Nasional Alas Purwo, sinyal operator seluler sangat minim. Jadi, rasanya ajaib saja, mendengar bunyi ponsel saat perjalanan pulang dari Gua Istana, di tengah kerimbunan hutan.

Tapi, mengapa wajahnya tak gembira?

“Merapi meletus,” ujarnya.

Informasi masih simpang siur, sinyal datang dan menghilang. Kegembiraan perjalanan sedikit berkurang.

Berita utuhnya baru kami dapat setelah kembali dari Plengkung. Ajakan dari supir Land Rover untuk singgah di sebuah hotel kecil, tempat para peselancar biasa menginap, membawa berkah. Ada televisi di sana. Berita sekilas yang disiarkan sebuah stasiun televisi swasta memberi gambaran apa yang sebenarnya terjadi di Yogyakarta dan sebagian wilayah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bukan Merapi yang meletus, tapi gempa bumi dengan kekuatan 5,9 skala richter.

Setelahnya perjalanan masih terus berlanjut. Saya dan teman mencoba menghubungi keluarga dan sahabat. Beberapa rencana seperti menengok penyu bertelur dan melanjutkan perjalanan ke Jember urung dilaksakan. Sungguh, bukan karena perjalanan kali ini tak menarik -pantai biru dengan pasir putih, hijau daun, biru langit, ratusan bintang yang bisa dilihat dengan mata telanjang, debur ombak- tapi rasanya saya dan beberapa teman ingin segera sampai di rumah.

***

Stasiun Gambir, Senin 29 Mei 2006, sekitar pukul 18.00 bagian barat waktu Indonesia

Saya baru saja turun dari kereta api. Berdua dengan seorang teman. Berjalan di tengah kerumunan penumpang lain. Berdiri di dekat pintu keluar. Tak lama menunggu, saya temukan sosoknya. Ia, laki-laki harum hutan itu, berjalan menenteng botol air mineral kecil, tampak lebih rapi dengan kemeja lengan pendek kotak-kotak biru. Malam ini, ia meluangkan waktu untuk menjemput saya di stasiun.

Setelah mengantar teman perjalanan saya sampai ke kostnya, laki-laki harum hutan tidak langsung mengantar saya pulang. Kami makan malam, lalu mampir ke taman kota sebentar. Setelahnya baru ia mengantar saya pulang.

Saya melihat rumah kuning itu lagi. Suara Ma’e langsung terdengar. Bergegas Ma’e ke luar. Wajah kakak saya menyembul, hanya sebentar, setelahnya kembali asyik melanjutkan games di komputer.

Laki-laki harum hutan. Perjalanan antara stasiun hingga rumah. Rumah kuning itu lagi. Ma’e. Kakak saya. Saya selalu merasakan rasa bahagia yang menyusup tiap kali pulang dari perjalanan dan melihat rumah. Tapi malam itu, rasa bahagia yang saya rasakan sepertinya jauh lebih dalam. Senang rasanya bisa kembali ke rumah.

Kesenangan yang malam itu saya rasakan tidak dicecap oleh para korban gempa. Banyak dari mereka yang berpisah dengan orang yang dicintai dan melihat kampung halaman porak poranda. Banyak dari mereka untuk sementara tidak bisa kembali ke rumah. Teriring doa untuk semua korban; semoga diberi kekuatan dan kesabaran.
 

1 comment so far.

  1. Jobove - Reus 14 Mei 2008 pukul 09.20
    very good blog, congratulations
    regard from Catalonia Spain
    thank you

Something to say?